Cukai Untuk Minuman Berkarbonasi Akan Ditetapkan
Wacana untuk mengenakan cukai minuman berkarbonasi, tampaknya akan segera direalisasikan di tahun 2016.
Pemerintah tampaknya begitu tergoda dengan besaran konsumsi minuman berkarbonasi yang mencapai 3,75 juta kiloliter setiap tahunnya.
Jika dikenakan tarif cukai sebesar Rp3.000 per liter saja maka pendapatan negara yang tercipta sekitar Rp11,24 triliun.
Ketika realisasi pendapatan negara khususnya dari sisi perpajakan hingga September 2015 masih jauh dari yang diharapkan, potensi tambahan pendapatan tersebut memang layak untuk direalisasikan.
Terlebih dalam APBN 2016, pemerintah justru terus meningkatkan target penerimaan perpajakan demi mempercepat akselerasi pembangunan infrastruktur di berbegai sektor prioritas.
Sama halnya dengan tahun 2015, oleh beberapa pengamat target kenaikan penerimaan pajak 2016 dirasa masih cukup berat.
Terlebih di saat bersamaan sedang terjadi potensi perlambatan demand akibat krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di Eropa dan AS.
Jika sekedar mengandalkan potensi perluasan basis alamiah pajak, target tersebut dirasa tidak akan tercapai.
Karenanya Pemerintah dituntut untuk ekstra bekerja lebih keras dalam mencari sumber-sumber perluasan basis pajak non-alamiah. Dan salah satu cara yang coba ditempuh pemerintah adalah wacana pengenaan cukai minuman berkarbonasi atau bersoda yang menggunakan pemanis.
Selain meningkatkan penerimaan negara, rencana pengenaan cukai ini juga didasarkan kepada beberapa aspek lainnya seperti pengendalian konsumsi masyarakat serta mencegah dampak negatif dari konsumsi berlebihan produk tersebut.
Dalam skenario awalnya, Pemerintah menjelaskan ada 5 alternatif pengenaan cukai minuman berkarbonasi. Alternatif pertama, dengan tarif Rp1.000, besaran cukai per harga 12%, potensi penerimaan sebesar Rp79 miliar.
Alternatif ke-2, dengan tarif Rp2.000, cukai per harga 23%, berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp1,58 triliun.
Tarif ke-3, dengan tarif Rp3.000, cukai per harga 35%, berpotensi menambah penerimaan negara Rp2,37 triliun. Tarif ke-4, dengan tarif Rp4.000, cukai per harga 47%, dengan potensi penerimaan Rp3,16 triliun. Terakhir, tarif ke-5 dengan tarif Rp5.000, cukai per harga 58%, dengan potensi penerimaan sebesar Rp3,95 triliun.
Ide Penerapan Cukai
Sesuai dengan peraturan, cukai didefinisikan sebagai pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan.
Peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup sehingga pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Hingga kini beberapa kategori barang yang sudah dikenakan cukai, antara lain etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, serta berbagai hasil tembakau baik sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan lainnya.
Pemerintah juga dimungkinkan melakukan penambahan atau pengurangan kategori Barang Kena Cukai (BKC) melalui penetapan Peraturan Pemerintah (PP) dengan persetujuan DPR.
Dasar pemungutan cukai adalah jumlah produksi dari BKC, dan harus dilunasi saat pengeluaran dari pabrik atau tempat penyimpanan.
Jadi pengenaan cukai ini akan dilakukan di muka dan konsumen langsung membayar cukai di depan. Inilah yang membedakan cukai dengan pajak, meskipun maksud dan tujuannya sama.
Terkait dengan besaran tarif maksimal yang dapat dikenakan, untuk BKC hasil tembakau yang diproduksi di Indonesia sebesar 275% dari harga dasar apabila menggunakan harga jual pabrik (HJP), dan 57% dari harga dasar jika menggunakan harga jual eceran (HJE).
Secara definisi minuman berkarbonasi adalah minuman yang tidak memiliki kandungan alkohol.
Di seluruh belahan bumi, minuman berkarbonasi memiliki beberapa nama populer yang berbeda-beda, sebagai contoh, di Amerika Serikat, dikenal dengan nama soda, soda pop, pop atau tonik, di Inggris dikenal dengan fizzy drinks, di Kanada dikenal dengan soda atau pop saja. Sedangkan di daerah Irlandia, mereka menyebutnya Minerals. Di Indonesia jenis minuman ini dikenal sebagai minuman bersoda.
Dilihat dari prosesnya, karbonasi terjadi ketika gas CO2 terlarut secara sempurna dalam air.
Proses ini akan menghasilkan sensasi karbonasi “Fizz” pada air berkarbonasi dan sparkling mineral water . Hal tersebut diikuti gengan reaksi keluarnya buih (foaming ) pada minuman soda yang tidak lain adalah proses pelepasan kandungan CO2 terlarut di dalam air.
Dewasa ini, industri minuman berkarbonasi perkembangannya cenderung stagnan.
Secara volume industri minuman ringan didominasi oleh Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang memiliki market share 84% dari total pasar minuman ringan siap saji dalam kemasan.
Hal ini dimungkinkan karena semakin banyaknya pilihan minuman ringan lainnya. Hingga saat ini, market share minuman berkarbonasi sekitar 3%-6% dengan pertumbuhan yang paling fantastis terjadi pada minuman isotonik, minuman sari buah dan beraroma buah-buahan.
Meskipun stagnan, para pemain di dalam industri minuman berkarbonasi masih melihat adanya peluang celah pasar yang signifikan terkait dengan tingginya arus pertumbuhan perkotaan dengan gaya hidup dan kesibukan yang padat yang mendorong demand terhadap minuman praktis dan siap saji.
Semakin meleknya masyarakat terhadap fungsi kesehatan dan kecantikan juga mendorong tingginya celah pasar yang terwujud dalam industri minuman berkarbonasi.
Minuman berkarbonasi yang di Indonesia dikenal dengan sebutan minuman ringan bersoda sudah dikenal luas sebagai minuman dengan rasa segar dan memiliki aneka aroma dan rasa.
Namun dibalik kesegaran dan rasanya, berbagai penelitian menyebut minuman soda lebih banyak mengandung bahaya bagi kesehatan seperti kalori tinggi tanpa nutrisi, kelebihan gula, penyebab osteoporosis hingga, mengandung aneka zat aditif serta menimbulkan kecanduan.
Dalam artikelnya, Dr Maxime E. Buyckx, Director Health and Wellness Programs Global Scientific and Regulatory Affair Coca Cola menyatakan, banyak hal yang tidak diketahui publik berkaitan dengan minuman berkarbonasi.
Salah satunya isu osteoporosis yang disebabkan fosfat dalam minuman ringan. Osteoporosis ini dipengaruhi dua hal. Yang tidak dapat diubah seperti wanita lebih rentan terkena keropos tulang, serta usia tua yang rentan terkena osteoporosis. Adapula faktor yang dapat diubah seperti gaya hidup dan asupan gizi.
Untuk kadar gula minuman bersoda yang berasal dari pemanis buatan disebut Buyckx lebih rendah daripada kadar gula yang ada dalam beberapa jenis buah-buahan seperti apel, pisang, anggur dan nanas.
Namun, Dr Maxime juga mengakui selain untuk mencegah dehidrasi, minuman berkarbonasi tak memiliki nutrisi apapun di dalamnya.
Bahkan boleh dikatakan manfaat minuman ringan ini seperti manfaat dasar air yaitu untuk menambah cairan dalam tubuh.
Mengingat manfaat minuman berkarbonasi ini sesungguhnya tidak lebih dari manfaat dasar air dengan tingkat kandungan bahaya kesehatan yang sebetulnya besar namun masyarakat belum mengetahuinya.
Dalam persepsi penulis, ide dari Pemerintah untuk mengenakan cukai minuman berkarbonasi sebetulnya cukup realistis, meskipun dilihat dari sisi regulasi, cukai baru dikenakan terhadap barang yang mengandung alkohol.
Karenanya langkah pertama yang harus ditempuh Pemerintah adalah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait cukai minuman berkarbonasi.
Hal tersebut sesuai dengan aturan dalam UU Cukai, dimana Pemerintah memiliki kewenangan menambah atau mengurangi jenis barang yang masuk kriteria BKC dengan persetujuan DPR.
Berdasarkan alasan kesehatan, minuman berkarbonasi sudah memenuhi kriteria BKC, karena jika pemakaiannya berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan masyarakat.
Karenanya Pemerintah wajib mengendalikan konsumsi serta mengawasi peredaran minuman berkarbonasi.
Dengan menyelesaikan PP, maka kebijakan cukai minuman berkarbonasi siap untuk diimplementasikan. Dengan pengenaan cukai ini, nantinya tidak akan menghilangkan peredaran jenis minuman berkarbonasi ini, melainkan membatasi produksinya serta mengendalikan konsumsinya di masyarakat.
Adapun dasar pengenaan cukai, nantinya didasarkan kepada jumlah produksi minuman berkarbonasi, dan akan dibayar dimuka, sehingga ketika membeli konsumen akan langsung membayar cukai minuman berkarbonasi di dalam harga jualnya.
Pihak yang memungut cukai minuman berkarbonasi ini nantinya Pemerintah Pusat, dan seyogyanya sebagian digunakan untuk menambah penerimaan negara demi pembangunan berbagai kebutuhan infrastruktur, dan sebagian lagi di ear marking untuk dikembalikan lagi kepada pembangunan infrastruktur industri minuman ringan di Indonesia.
Demi tujuan perbaikan bersama, rumusan di atas tentu bukan hal mutlak yang tidak dapat diperdebatkan.
Justru berbagai masukan yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun semuanya harus bermuara pada satu tujuan bersama menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat jiwa dan raganya.