Paket Kebijakan Ekonomi Desa Terbaru
Pemerintah sedang menyiapkan draft Paket Kebijakan Stimulus Ekonomi ke-VII. Berbeda dengan sebelumnya, dalam paket kebijakan tersebut pemerintah ingin mendorong daya beli masyarakat melalui perekonomian desa.
Hingga saat ini, menurut kabarnya paket kebijakan tersebut sedang dikaji serta dikoordinasikan di level Menteri Koordinator Bidang Keuangan. Ada dua kebijakan yang nantinya akan dihasilkan:
Pertama kebijakan mendukung efektifitas penggunaan dana desa sementara yang kedua adalah kebijakan terkait permasalahan logistik.
Dalam hal mendukung efektifitas penggunaan dana desa, pemerintah menyasar dua hal yaitu memperlancar dan mempercepat penyaluran dana desa serta mendorong penggunaan dana desa melalui mekanisme insentif.
Insentif akan diberikan agar pembangunan infrastruktur desa yang memanfaatkan alokasi dana desa dapat ditingkatkan.
Untuk mempercepat penyalurannya, pemerintah juga sedang merancang payung hukum berupa regulasi yang memperbolehkan dana desa dapat disalurkan langsung ke kas pemerintah desa.
Tidak perlu melalui kas pemerintah kabupaten atau kota terlebih dahulu. Tujuannya jelas untuk memotong rantai birokrasi.
Hal ini terasa menjadi urgent mengingat realisasi penyaluran dana desa hingga kuartal ke-4 tahun 2015 ini sudah mencapai Rp16,61 triliun atau 80% pagu APBN-P 2015, namun sayangnya penyaluran dari 434 pemerintah kabupaten dan kota ke masing-masing desa baru sekitar Rp4,9 triliun.
Jika mempertimbangkan data awal perhitungan pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun, Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar.
Maka alokasi dana desa memang sangat signifikan bagi percepatan pembangunan ekonomi di desa.
Optimalisasi pemanfaatan dana desa menjadi salah satu prasyarat penting dalam mendukung kesuksesan APBN tahun 2016, yang dianggap menjadi milestone penganggaran pertama kalinya bagi pemerintahan baru di era Presiden Jokowi-JK.
APBN 2016 sendiri disusun berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dengan tema “Penguatan Pengelolaan Fiskal dalam Rangka Memperkokoh Fundamental Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas”.
Sejalan dengan hal tersebut maka strategi yang ditempuh adalah: (1) memperkuat stimulus yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing, (2) meningkatkan ketahanan fiskal dan menjaga terlaksananya program-program prioritas di tengah tantangan perekonomian global, serta (3) mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang.
Melalui strategi tersebut diharapkan pengelolaan fiskal akan lebih produktif, berdaya tahan, risiko terkendali dan berkelanjutan.
Di lain pihak, dari sisi besaran anggaran belanja khususnya transfer ke daerah dan dana desa, untuk pertama kalinya alokasi lebih besar dari belanja K/L. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk komitmen nyata dari pemerintah dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal seutuhnya.
Penyumbang persentase kenaikan terbesar dalam transfer ke daerah dan dana desa adalah alokasi anggaran untuk transfer khusus dan dana desa, antara lain dengan dialokasikannya Dana Alokasi Khusus (DAK) infrastruktur publik daerah, realokasi dana dekonsentrasi/tugas pembantuan ke DAK, dan pemenuhan roadmap dana desa yang dalam tahun 2016 dialokasikan paling sedikit 6%.
Ketika pemerintah di level pusat tampak begitu kesulitan dalam mengelola defisit APBN demi mengejar efek pembangunan infrastruktur secara massif, semangat membangun tersebut seperti kurang diamini oleh banyak Pemda, khususnya dalam menjalankan fungsi menggerakkan ekonomi di daerah.
Padahal limpahan dana yang begitu besar seharusnya mampu menjadi modalitas yang memadai bagi upaya akselerasi pembangunan. Tercatat, berdasarkan dokumen R-APBN 2016, besaran transfer ke daerah dan dana desa yang akan dialokasikan mencapai Rp782,2 miliar atau meningkat hampir Rp118,7 miliar dibandingkan pagu anggaran APBN-P 2015.
Di dalam komponen transfer ke daerah sendiri, pemerintah juga melakukan reformasi di 2016.
Jika sebelumnya mekanisme transfer ke daerah terdiri dari Dana Perimbangan (Daper), Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana Keistimewaan DIY serta Dana Transfer Lainnya, maka di 2016 diubah menjadi Dana Perimbangan (Daper), Dana Insentif Daerah (DID) serta Dana Otsus dan Keistimewaan DIY.
Reformasi juga terjadi dalam komponen Daper itu sendiri. Biasanya, komponen Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan DAK. Untuk 2016, Daper diubah menjadi Dana Transfer Umum (General Purpose Grant) serta Dana Transfer Khusus (Specific Transfer Grant).
Dana Transfer Umum dipecah lagi menjadi DBH dan DAU sementara Dana Transfer Khusus dipecah menjadi DAK Fisik dan Non-Fisik.
DAK Fisik rencananya dimanfaatkan dalam bentuk DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik Daerah dan DAK Afirmasi sementara DAK Non-Fisik lebih ditujukan untuk pendanaan BOS, PAUD, Tambahan Gaji Pengajar PNSD, Tunjangan Guru serta pembangunan daerah.
Karenanya, ketika data pemerintah menunjukkan besaran dana Pemda yang masih mengendap di perbankan hingga akhir September 2015 mencapai Rp291,9 triliun setelah sebelumnya sempat mengecil di bulan Juli 2015, banyak pihak merasa prihatin.
Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah dengan dana idlle terbesar Rp19,6 triiliun, disusul Provinsi Riau Rp5,6 triliun, Kabupaten Kutai Kertanegara Rp2,5 triliun, Provinsi Kalimantan Timur Rp3,67 triliun serta Provinsi Papua Rp3,5 triliun.
Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini merupakan akumulasi dari periode sebelumnya. Di tahun 2011, besarannya sudah mencapai Rp79,2 triliun, meningkat menjadi Rp97,7 triliun di 2012 serta Rp113 triliun di tahun 2014.
Artinya, ada mekanisme yang kurang sesuai antara penganggaran di Pemerintah Pusat dengan Pemda. Demi menciptakan fiscal space yang besar bagi Pemda, Pemerintah Pusat berusaha sekeras mungkin melakukan berbagai upaya penghematan dan memperbesar defisit anggaran.
Di sisi lain, Pemda justru tidak memanfaatkan hal tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Kondisi ini jelas perlu segera diselesaikan. Pemerintah Pusat harus segera memikirkan mekanisme seperti apa yang dapat dijadikan alat reward and punishment bagi daerah sehingga ke depannya mampu berlomba-lomba mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerahnya.
Konversi pencairan transfer ke daerah secara kas menjadi Surat Berharga Negara (SBN) bagi daerah yang kinerja pengelolaan anggarannya buruk sejatinya hanya menjadi satu instrumen kecil bagi kebijakan yang seharusnya lebih komprehensif.
Termasuk juga sisi perbaikan sistem penganggaran di Pemerintah Pusat sehingga dana akan tersalurkan tepat waktu.
Keterlambatan penyaluran dana Pemerintah Pusat ke Daerah jika mau jujur juga turut andil meningkatkan endapan dana Pemda di sektor perbankan.
Karenanya, keterbukaan dan saling pengertian untuk memperbaiki permasalahan masing-masing kemudian menjadi kata kunci yang mujarab dalam mengatasi persoalan ini secara bijaksana.
Hingga saat ini, menurut kabarnya paket kebijakan tersebut sedang dikaji serta dikoordinasikan di level Menteri Koordinator Bidang Keuangan. Ada dua kebijakan yang nantinya akan dihasilkan:
Pertama kebijakan mendukung efektifitas penggunaan dana desa sementara yang kedua adalah kebijakan terkait permasalahan logistik.
Dalam hal mendukung efektifitas penggunaan dana desa, pemerintah menyasar dua hal yaitu memperlancar dan mempercepat penyaluran dana desa serta mendorong penggunaan dana desa melalui mekanisme insentif.
Insentif akan diberikan agar pembangunan infrastruktur desa yang memanfaatkan alokasi dana desa dapat ditingkatkan.
Untuk mempercepat penyalurannya, pemerintah juga sedang merancang payung hukum berupa regulasi yang memperbolehkan dana desa dapat disalurkan langsung ke kas pemerintah desa.
Tidak perlu melalui kas pemerintah kabupaten atau kota terlebih dahulu. Tujuannya jelas untuk memotong rantai birokrasi.
Hal ini terasa menjadi urgent mengingat realisasi penyaluran dana desa hingga kuartal ke-4 tahun 2015 ini sudah mencapai Rp16,61 triliun atau 80% pagu APBN-P 2015, namun sayangnya penyaluran dari 434 pemerintah kabupaten dan kota ke masing-masing desa baru sekitar Rp4,9 triliun.
Jika mempertimbangkan data awal perhitungan pemerintah, Pulau Jawa dan Sumatera memperoleh alokasi terbesar Rp3,6 triliun dan Rp1,86 triliun, Provinsi Papua Rp1,37 triliun, Sulawesi Rp878,6 miliar, Kalimantan Rp852,7 miliar, kemudian Bali, NTT, NTB sebesar Rp500,3 miliar.
Maka alokasi dana desa memang sangat signifikan bagi percepatan pembangunan ekonomi di desa.
Optimalisasi pemanfaatan dana desa menjadi salah satu prasyarat penting dalam mendukung kesuksesan APBN tahun 2016, yang dianggap menjadi milestone penganggaran pertama kalinya bagi pemerintahan baru di era Presiden Jokowi-JK.
APBN 2016 sendiri disusun berdasarkan pokok-pokok kebijakan fiskal dengan tema “Penguatan Pengelolaan Fiskal dalam Rangka Memperkokoh Fundamental Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas”.
Sejalan dengan hal tersebut maka strategi yang ditempuh adalah: (1) memperkuat stimulus yang diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penguatan daya saing, (2) meningkatkan ketahanan fiskal dan menjaga terlaksananya program-program prioritas di tengah tantangan perekonomian global, serta (3) mengendalikan risiko dan menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang.
Melalui strategi tersebut diharapkan pengelolaan fiskal akan lebih produktif, berdaya tahan, risiko terkendali dan berkelanjutan.
Di lain pihak, dari sisi besaran anggaran belanja khususnya transfer ke daerah dan dana desa, untuk pertama kalinya alokasi lebih besar dari belanja K/L. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk komitmen nyata dari pemerintah dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal seutuhnya.
Penyumbang persentase kenaikan terbesar dalam transfer ke daerah dan dana desa adalah alokasi anggaran untuk transfer khusus dan dana desa, antara lain dengan dialokasikannya Dana Alokasi Khusus (DAK) infrastruktur publik daerah, realokasi dana dekonsentrasi/tugas pembantuan ke DAK, dan pemenuhan roadmap dana desa yang dalam tahun 2016 dialokasikan paling sedikit 6%.
Anomali di daerah
Rendahnya penyaluran dana desa sebetulnya sudah diprediksi sebelumnya, terlebih dewasa ini isu dana menganggur (iddle fund ) di daerah kembali mengemuka.Ketika pemerintah di level pusat tampak begitu kesulitan dalam mengelola defisit APBN demi mengejar efek pembangunan infrastruktur secara massif, semangat membangun tersebut seperti kurang diamini oleh banyak Pemda, khususnya dalam menjalankan fungsi menggerakkan ekonomi di daerah.
Padahal limpahan dana yang begitu besar seharusnya mampu menjadi modalitas yang memadai bagi upaya akselerasi pembangunan. Tercatat, berdasarkan dokumen R-APBN 2016, besaran transfer ke daerah dan dana desa yang akan dialokasikan mencapai Rp782,2 miliar atau meningkat hampir Rp118,7 miliar dibandingkan pagu anggaran APBN-P 2015.
Di dalam komponen transfer ke daerah sendiri, pemerintah juga melakukan reformasi di 2016.
Jika sebelumnya mekanisme transfer ke daerah terdiri dari Dana Perimbangan (Daper), Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana Keistimewaan DIY serta Dana Transfer Lainnya, maka di 2016 diubah menjadi Dana Perimbangan (Daper), Dana Insentif Daerah (DID) serta Dana Otsus dan Keistimewaan DIY.
Reformasi juga terjadi dalam komponen Daper itu sendiri. Biasanya, komponen Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan DAK. Untuk 2016, Daper diubah menjadi Dana Transfer Umum (General Purpose Grant) serta Dana Transfer Khusus (Specific Transfer Grant).
Dana Transfer Umum dipecah lagi menjadi DBH dan DAU sementara Dana Transfer Khusus dipecah menjadi DAK Fisik dan Non-Fisik.
DAK Fisik rencananya dimanfaatkan dalam bentuk DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik Daerah dan DAK Afirmasi sementara DAK Non-Fisik lebih ditujukan untuk pendanaan BOS, PAUD, Tambahan Gaji Pengajar PNSD, Tunjangan Guru serta pembangunan daerah.
Karenanya, ketika data pemerintah menunjukkan besaran dana Pemda yang masih mengendap di perbankan hingga akhir September 2015 mencapai Rp291,9 triliun setelah sebelumnya sempat mengecil di bulan Juli 2015, banyak pihak merasa prihatin.
Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah dengan dana idlle terbesar Rp19,6 triiliun, disusul Provinsi Riau Rp5,6 triliun, Kabupaten Kutai Kertanegara Rp2,5 triliun, Provinsi Kalimantan Timur Rp3,67 triliun serta Provinsi Papua Rp3,5 triliun.
Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini merupakan akumulasi dari periode sebelumnya. Di tahun 2011, besarannya sudah mencapai Rp79,2 triliun, meningkat menjadi Rp97,7 triliun di 2012 serta Rp113 triliun di tahun 2014.
Artinya, ada mekanisme yang kurang sesuai antara penganggaran di Pemerintah Pusat dengan Pemda. Demi menciptakan fiscal space yang besar bagi Pemda, Pemerintah Pusat berusaha sekeras mungkin melakukan berbagai upaya penghematan dan memperbesar defisit anggaran.
Di sisi lain, Pemda justru tidak memanfaatkan hal tersebut sesuai dengan yang diharapkan.
Kondisi ini jelas perlu segera diselesaikan. Pemerintah Pusat harus segera memikirkan mekanisme seperti apa yang dapat dijadikan alat reward and punishment bagi daerah sehingga ke depannya mampu berlomba-lomba mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerahnya.
Konversi pencairan transfer ke daerah secara kas menjadi Surat Berharga Negara (SBN) bagi daerah yang kinerja pengelolaan anggarannya buruk sejatinya hanya menjadi satu instrumen kecil bagi kebijakan yang seharusnya lebih komprehensif.
Termasuk juga sisi perbaikan sistem penganggaran di Pemerintah Pusat sehingga dana akan tersalurkan tepat waktu.
Keterlambatan penyaluran dana Pemerintah Pusat ke Daerah jika mau jujur juga turut andil meningkatkan endapan dana Pemda di sektor perbankan.
Karenanya, keterbukaan dan saling pengertian untuk memperbaiki permasalahan masing-masing kemudian menjadi kata kunci yang mujarab dalam mengatasi persoalan ini secara bijaksana.