Solusi Untuk LGCG Yang Mahal

Publik tentu masih ingat dengan perdebatan panjang terkait program pengembangan mobil murah ramah lingkungan atau yang dikenal dengan sebutan Low Cost Green Car (LCGC).

Kebijakan yang sempat menuai kontroversi tersebut, pada akhirnya tetap melaju dan menjadi primadona tersendiri di kalangan masyarakat.

Kondisi ini tentu tak lepas dari fenomena pertumbuhan masyarakat kelas menengah, yang didukung transformasi sektor otomotif.

Terlebih, dalam 10 tahun terakhir, tren penjualan kendaraan bermotor khususnya mobil terus meningkat serta memberikan dampak signifikan kepada pertumbuhan PDB.

Akibatnya, bak kacang goreng, LCGC laris manis di pasaran, meskipun dampak kelesuan ekonomi dunia juga berimbas pada penurunan angka penjualan hingga Juli 2015 sebesar 7,22% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014.

Persoalannya, ketiadaan industri bahan baku domestik dibarengi dengan kenaikan biaya produksi dan upah pegawai telah memaksa pabrikan LCGC untuk terus menaikkan harga jualnya hingga 6% secara rata-rata.

Artinya konsumen yang awalnya masih mampu membeli LCGC di kisaran harga Rp76-an juta, bersiap-siap untuk merogoh koceknya lebih dalam lagi.

Kesalahan memang bukan sepenuhnya ada di pabrikan otomotif karena beleid Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau memberikan kesempatan untuk menyesuaikan harga 1 tahun setelah diproduksi.

Yang perlu diingat lagi adalah kehilangan potensi penerimaan perpajakan khususnya Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) di tahun 2015 yang mencapai Rp1,6 triliun untuk 6 merk LCGC.

Pemberian insentif penghapusan PPnBM ini awalnya diharapkan mampu diimbangi dengan penciptaan pasar suku cadang domestik demi memenuhi kewajiban kandungan lokal yang pada akhirnya mampu mengkompensasi kehilangan pendapatan dari sisi perpajakan.

Dampak kemacetan yang sudah terlanjur ditimbulkan pun perlu menjadi perhatian.

Laporan Castrol Magnatec Stop-Start Index 2014 yang menempatkan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Surabaya dalam kategori kota dengan kemacetan tertinggi di dunia rasanya tak lepas dari kontribusi menjamurnya LCGC, khususnya ketika pemerintah sendiri belum mampu mengurangi jumlah kendaraan bermotor yang ada di jalanan.

Diberitakan oleh survei Castrol, 1 mobil di Jakarta dalam setahun bisa mengalami 33.240 stop-start. Jadi dalam setahun mobil bisa endut-endutan dalam kemacetan sebanyak 33.240 kali.

Kendaraan pun mengalami masa idling (diam tak bergerak) terlama di seluruh dunia. Di Indonesia total waktu idling adalah 27,22 persen.

Itu artinya dari keseluruhan waktu berkendara, 27% habis terjebak dalam kemacetan.

Selain Jakarta, kota paling macet lainnya diduduki oleh Istanbul, Turki dengan total 32.525 stop-start, dilanjutkan dengan Mexico City dengan total 30.840 stop-start.

Posisi ke-empat diduduki oleh Kota Surabaya dengan total 29.880 stop-start, dilanjutkan dengan Petersburg, Rusia 20.040 stop-start, Moskow, Rusia 28.680 stop-start, Roma, Italia 28.680 stop-start, Bangkok, Thailand 27.480 stop-start, Guadalajara, Meksiko 24.840 stop-start dan terakhir Buenos Aires, Argentina 23.760 stop-start.

Solusi Untuk LGCG Yang Tidak Murah

Sedari awal, LCGC memang dekat dengan kontroversi. Pemerintah juga mulai gamang, ketika di masa Presiden SBY muncul keluhan adanya ketidaksesuaian rencana awal pengembangan LCGC dengan implementasi di lapangan.

Beberapa pejabat yang terkait langsung dengan persoalan LCGC, juga memberikanstatement yang berbeda-beda sesuai dengan kacamatanya sendiri-sendiri.

Bersamaan dengan isu beban subsidi BBM yang terus membengkak, wacana pelarangan LCGC mengkonsumsi BBM bersubsidi kemudian mengemuka, termasuk pertimbangan sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang melanggar.

Bagi penulis, pernyataan tersebut justru menimbulkan pertanyaan. Wacana pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi pemilik LCGC serta pemberian sanksi terasa aneh jika kita kembalikan filosofi LCGC sebagai mobil murah yang ditujukan bagi golongan masyarakat miskin dan menengah.

Jika pemerintah sendiri belum mampu melarang mobil konvensional non-LCGC yang harganya lebih mahal dan kapasitas mesinnya lebih besar, bagaimana mungkin melarang LCGC mengkonsumsi premium? Diberikan sanksi pula bagi pemilik LCGC yang melanggar aturan tersebut.

Untungnya, pemerintahan yang baru sukses menjalankan program reformasi kebijakan subsidi BBM.

Beban subsidi BBM yang sebelumnya senantiasa menjadi momok menakutkan bagi APBN, kini sudah tiada lagi.

Dalam APBN 2016, beban subsidi BBM tinggal Rp63,7 triliun, jauh lebih kecil misalnya dibandingkan APBN 2014 yang menyentuh kisaran Rp210 triliun.

Itu artinya, permasalahan beban subsidi BBM sudah tidak relevan dikaitkan dengan persoalan LCGC.

Isu yang urgent terkait dengan produksi LCGC sata ini adalah bagaimana mengurangi dampak kemacetan serta pengembangan industri bahan baku domestik demi memenuhi standar Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang menjadi prasyarat penghapusan PPnBM.

Pengaturan daya beli masyarakat terhadap produk LCGC tersebut juga perlu dikaji mengingat LCGC sekarang tidak murah lagi.
Recent Search