APBN 2016 Dan Tantangan Bagi BUMN
Penyertaan modal negara untuk 24 BUMN dalam APBN 2016 resmi ditunda. Penundaan menjadi jalan tengah demi mencegah ancaman deadlock.
Jeda yang diambil adalah kesempatan untuk menguji seberapa pantas penyertaan modal Rp39,42 triliun tersebut dapat diberikan.
Jeda yang diambil adalah kesempatan untuk menguji seberapa pantas penyertaan modal Rp39,42 triliun tersebut dapat diberikan.
Setidaknya, terdapat dua parameter penguji kepantasan tersebut. Pertama, ketersediaan ruang fiskal.
Ruang fiskal dalam APBN dapat didefinisikan sebagai kesempatan bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk keperluan tertentu tanpa harus mengorbankan alokasi pos lainnya.
Ruang fiskal diperlukan untuk meningkatkan porsi belanja produktif. Dalam keadaan darurat, ketersediaan ruang fiskal memungkinkan pemerintah bermanuver.
Dalam APBN 2016, target pendapatan negara disepakati mengalami penyesuaian dari Rp1.841,1 triliun menjadi Rp1.822,5 triliun.
Penyesuaian postur pendapatan negara disebabkan adanya pemangkasan target penerimaan perpajakan dari Rp1.565,8 triliun menjadi Rp1.546,7 triliun, sejalan dengan target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disesuaikan menjadi Rp273,8 triliun.
Sementara belanja negara dikoreksi menjadi Rp2.095,7 triliun dari awalnya sekitar Rp2.121,3 triliun. Dengan kondisi tersebut, besaran defisit anggaran dipatok naik menjadi 2,15% atau setara Rp273,2 triliun dari target awalnya 2,14%.
Ketersediaan ruang fiskal dapat dimaksimalkan dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja.
Usaha ini telah tergambar dari koreksi alokasi belanja pemerintah pusat yang dipotong sekitar Rp13,5 triliun dari target awal menjadi Rp1.325,6 triliun.
Dari besaran tersebut, anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) ditetapkan naik menjadi Rp784,1 triliun, sementara anggaran non-K/L mengalami penurunan menjadi Rp541,4 triliun.
Tetapi, usaha tersebut dirasa belum mencukupi untuk mengakomodasi penyertaan modal negara. Masih terdapat pos alokasi belanja yang lebih urgent.
Salah satu butir Nawacita yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, menjadi prioritas Kabinet Kerja dan harus dieksekusi dengan terlebih dahulu memastikan alokasi anggarannya.
Butir Nawacita tersebut merupakan dasar penguatan desentralisasi fiskal dengan basis sampai level desa.
Dalam APBN 2016, alokasi Dana Desa ditetapkan Rp47 triliun sedangkan Transfer ke Daerah mencapai Rp723,2 triliun.
Anggaran desentralisasi fiskal sejatinya masih sangat terbatas, sedangkan defisit sudah 2,15%. Meski masih dalam kriteria aman, defisit 2,15% merupakan alarm agar pengalokasian anggaran ditetapkan secara lebih pruden.
Oleh karena itu, di akhir pembahasan APBN 2016, pilihan memperkuat anggaran desentralisasi fiskal sempat ditandingkan dengan penyertaan modal negara untuk BUMN.
Pilihan memperkuat desentralisasi fiskal kemudian dirasa lebih urgent.
Kedua, relevansi penyertaan modal negara dengan strategi pemerintah dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, penyertaan modal negara diharapkan tidak sekedar mendorong penguatan BUMN itu sendiri, tetapi juga menjadikan BUMN sebagai agen pembangunan.
Peran BUMN sebagai agen pembangunan merupakan peran historis yang menjadi bagian dari grand design konstruksi perekonomian nasional.
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mewajibkan pemerintah sebagai wakil negara untuk melakukan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta sumber daya alam yang terkandung di bumi Indonesia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Amanat ini tidak berubah meskipun konstitusi telah mengalami empat kali amandemen.
Untuk melaksanakan amanat tersebut, pemerintah membentuk badan teknis yang kemudian berwujud BUMN.
Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN menyebutkan, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Jika modal BUMN tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap berstatus sebagai BUMN, negara minimal harus menguasai 51% modal tersebut.
BUMN menjalankan fungsi teknis penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan orang banyak.
Penekanan penting dalam hal ini tidak hanya dalam sisi ekonomi, tetapi juga terkait kepentingan strategis dan geopolitik negara.
Keberadaan BUMN diharapkan menjadi tangan lain dari pemerintah yang tidak mungkin secara langsung bermain di pasar ekonomi.
Dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, selain memanfaatkan potensi ekonominya secara langsung, BUMN dapat berperan sebagai wakil pemerintah dalam kerja sama pengelolaan sumber daya alam bersama perusahaan asing.
BUMN sebagai badan usaha pada prinsipnya bertujuan mencari keuntungan dari kegiatan usahanya. Namun, mengingat peran BUMN sebagai pelaksana amanat konstitusi, maka keuntungan disini tidak selalu berarti finansial.
Terpenuhinya kepentingan publik adalah tujuan utama dari BUMN. Hal ini disebabkan karena badan usaha tersebut mayoritas atau seluruh modalnya dimiliki oleh negara.
Pemerintah sebagai wakil negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas negara, diantaranya adalah menyelenggarakan pelayanan umum (public service).
Artinya, memang ada BUMN tertentu yang secara profil keuangan akan merugi karena sektor usaha yang dijalani sulit untuk mencatat keuntungan, tetapi fungsi pelayanan umum berjalan.
Oleh karena itu, penyertaan modal negara dalam APBN harus dalam kerangka strategis memperkuat dan memperbesar peran BUMN dalam ekonomi nasional.
Output yang diharapkan setidaknya dapat dilihat melalui empat hal: (1) meningkatnya fungsi pelayanan publik yang memadai bagi seluruh rakyat Indonesia melalui BUMN; (2) penciptaan lapangan pekerjaan yang masif bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) meningkatkan kontribusi BUMN pada penerimaan negara; dan (4) kelestarian sumber daya alam dengan pemanfaatan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan.
Penyertaan modal negara semestinya tidak dinikmati BUMN secara cuma-cuma. Apalagi, aset keseluruhan BUMN di Indonesia sampai akhir 2015 diperkirakan mencapai lebih dari Rp4.500 triliun.
Nilai fantastis yang menggambarkan potensi besar BUMN dalam perekonomian nasional. Tetapi kenapa potensi besar ini tidak dapat termanfaatkan secara maksimal? Masalahnya ternyata ada pada kemandirian BUMN.
Patut disadari, penambahan penyertaan modal negara bukan satu-satunya cara memperkuat dan memperbesar peran BUMN, serta tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kinerja BUMN.
Penambahan modal sebesar apapun, bila tidak disertai perbaikan di internal BUMN maka akan sia-sia.
Pada akhirnya, pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN-P 2016 kelak dihadapkan pada dua pilihan.
Pertama, memasukkan alokasi penyertaan modal negara untuk BUMN dengan berbagai variasi besarannya.
Kedua, memilih memanfaatkan ketersediaan ruang fiskal untuk alokasi selain penyertaan modal negara untuk BUMN. Apapun pilihannya, BUMN harus terlebih dahulu memperbaiki kinerja dan memperlihatkan kepantasan untuk mendapatkan penambahan penyertaan modal.