Insentif Fiskal untuk Penelitian dan Pengembangan
Mantan Menteri Keuangan, M. Chatib Basri pernah menyatakan bahwa untuk menghindari jebakan negara berpenghasilan rendah (middle income trap), Indonesia harus memperkuat SDM dan mendorong produktivitas yang berbasis kepada inovasi dan teknologi.
Hal yang sama dilakukan oleh Korea Selatan sehingga negara tersebut mampu menjadi negara maju dalam waktu 15 tahun.
Hal ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk harus segera memperkuat bidang penelitian dan pengembangan dan tidak hanya bisa mengandalkan pada sumber daya alam dan upah buruh yang rendah saja.
Data World Bank tahun 2013 menunjukkan bahwa pengeluaran R&D Indonesia hanya sebesar 0,08% dari PDB, sementara Korea Selatan yang merupakan negara rujukan Chatib Basri mencapai 4,14%, Israel mencapai 4,21%, Jepang sebesar 3,47%, Amerika Serikat 2,8%, China sudah mencapai 2,01%.
Negara-negara ASEAN sendiri juga lebih besar dari Indonesia seperti Singapore 2%, Malaysia 1,13%, Thailand 0,38%, bahkan Filipina dan Vietnam juga sudah lebih besar dari Indonesia, yaitu masing-masing 0,1% dan 0,19%.
Demikian juga halnya dari sisi jumlah peneliti dan jumlah publikasi di jurnal international yang terindeks scopus, data dari Scopus menunjukkan bahwa Indonesia juga jauh tertinggal dari negara-negara lain bahkan negara-negara tetangga kita.
Jumlah peneliti per satu juta penduduk di Indonesia hanya berjumlah 90 orang, sementara China mencapai 1.199 orang, Malaysia 365 orang dan Thailand 316 orang.
Jumlah publikasi di jurnal international pada tahun 2012 Indonesia baru mencapai 3.231 artikel, China sudah mencapai 391.164 artikel, Malaysia 20.838 artikel, Thailand 10.824 artikel, Singapore yang jumlah penduduknya sangat kecil bahkan bisa mempublikasikan sebanyak 16.023 artikel (lima kali lipat dibanding Indonesia).
Bagaimana dengan insentif terhadap pengeluaran penelitian dan pengembangan?
Pemerintah Indonesia telah memberikan beberapa insentif fiskal untuk pengeluaran di bidang penelitian dan pengembangan.
Insentif tersebut ada di bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, bea masuk, dan cukai. Insentif dibidang Pajak Penghasilan, antara lain:
a. Biaya penelitian dan pengembangan diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak, hal ini berarti dengan tarif PPh Badan sebesar 25% maka jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak (WP) bisa berkurang sampai dengan 25% dari biaya litbang yang dikeluarkan;
b. Dapat membiayakan biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di wilayah RI dan disampaikan kepada lembaga litbang;
c. Tambahan waktu 2 tahun untuk kompensasi kerugian apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5 persen dari investasi dalam jangka waktu 5 tahun. Fasilitas ini berlaku untuk WP badan dalam negeri yang melakukan penanaman modal pada bidang usaha tertentu atau daerah-daerah tertentu serta Badan Usaha dan Pelaku Usaha di Kawasan Ekonomi Khusus;
d. Tidak memungut PPh Pasal 22 impor atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
e. Pengecualian dari objek pajak terhadap sisa lebih yang diterima atau diperoleh Badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang penelitian dan pengembangan sepanjang sisa lebih tersebut digunakan untuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut.
Sementara insentif dibidang Pajak Pertambahan Nilai dan bea masuk adalah membebaskan bea masuk dan tidak memungut PPN atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Kemudian juga diberikan pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh lembaga dan badan Litbang tertentu yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
Serta insentif dibidang cukai yaitu fasilitas pembebasan cukai untuk etil alkohol dengan kadar paling rendah 85 persen yang digunakan untuk keperluan penelitian danpengembangan ilmu pengetahuan.
Selain insentif di bidang fiskal tersebut, juga ada insentif lain di bidang litbang khususnya insentif bagi peneliti aparatur sipil negara yang memiliki paten, dimana para peneliti tersebut diberikan imbaan berupa bagian dari PNBP royalti paten.
Insentif-insentif untuk penelitian dan pengembangan tersebut tersebar di berbagai aturan baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan, sehingga sedikit menyulitkan bagi WP untuk mengetahuinya, apalagi sosialisasi tentang peraturan-peraturan tersebut sangat kurang.
Efeknya fasilitas yang ada tersebut juga kurang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menyelenggarakan penelitian dan pengembangan.
Jika dibandingkan dengan insentif yang diberikan oleh beberapa negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Tiongkok, ataupun Jepang ternyata insentif yang diberikan oleh Indonesia masih sedikit tertinggal.
Negara-negara tersebut umumnya memberikan insentif berupa super deduction(tambahan pengurang penghasilan/tambahan biaya) atau kredit pajak bagi pengeluaran penelitian dan pengembangannya. Termasuk kelebihan pembebanan tersebut dapat dikompensasi ke tahun-tahun berikutnya.
Sebagai contoh, Malaysia memberikan tambahan 100% untuk pengeluaran penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Malaysia, tambahan 100% bagi pengeluaran litbang yang diberikan dalam bentuk donasi kepada organisasi penyelenggara litbang tertentu dan tambahan 100% bagi pengeluaran litbang untuk training karyawan di luar Malaysia.
Singapura bahkan memberikan tambahan sampai 300% untuk pengeluaran litbang yang memenuhi kualifikasiproduction and innovation scheme sampai dengan jumlah tertentu baik yang dilakukan di Singapura atau di luar Singapura.
Sedangkan Jepang memberikan insentifnya dalam bentuk tax credit, yaitu kredit berbasis volume sebesar 12% dari total pengeluaran litbang bagi perusahaan kecil dan menengah baik untuk pengeluaran di Jepang maupun diluar Jepang; kredit berbasis volume sebesar 8%-10% dari total pengeluaran litbang bagi perusahaan besar baik untuk pengeluaran di Jepang maupun diluar Jepang; dan kredit berbasis incremental sebesar 5% bagi semua perusahaan baik untuk pengeluaran di Jepang maupun diluar Jepang (Darussalam, 2013).
Indonesia memang masih cukup tertinggal dalam hal besaran pengeluaran litbang termasuk dalam hal dukungan insentif fiskal baik cakupan maupun skalanya.
Sementara itu, untuk bisa keluar dari middle income trap dan mendorong pertumbuhan ekonomi, salah satu yang harus dimiliki Indonesia adalah inovasi dan syarat utama tingginya inovasi adalah besarnya pengeluaran litbang.
Pemerintah sendiri tidak akan sanggup untuk mengerjakannya sendiri, oleh karena itu keterlibatan swasta adalah suatu keharusan.
Untuk menarik pihak swasta maka harus ada insentif yang lebih besar untuk pengeluaran litbang baik dari sisi cakupan maupun volumenya.
Walaupun begitu, dalam memberikan insentif tersebut pemerintah harus tetap berhati-hati karena seringkali pengeluaran litbang dijadikan sebagai lumbung pengeluaran yang tidak jelas oleh pelaku usaha.
Oleh karena itu, dalam memberikan insentif bagi litbang maka pemerintah harus benar-benar memperhatikan apa definisi dari litbang termasuk biaya-biaya yang mendapat insentif, ruang lingkup litbang yang akan diberikan insentif, jenis insentif yang akan diberikan, tempat pengeluaran yang akan diberikan insentif, ketentuan mengenai kompensasi kerugian, dan WP yang menjadi sasaran pemberian insentif.