Kerjasama Cukai ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN)

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau dalam Bahasa Inggris disebut ASEAN Economic Community (AEC) yang berlaku mulai 31 Desember 2015 merupakan tonggak bersejarah bagi kerjasama regional ASEAN.

MEA diharapkan menawarkan kesempatan yang sangat luas dengan pasar tunggal yang raksasa, baik ditinjau dari jumlah penduduk maupun produk domestik bruto.

Cetak biru MEA menginginkan pasar tunggal ASEAN yang memberikan kebebasan aliran (free flow) barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil (ASEAN Secretariat, 2014).

Dalam kerangka aliran yang bebas tersebut, dilakukan penghapusan berbagai hambatan tarif dan non tarif. Dalam hal ini, cukai dapat dipandang sebagai hambatan dari segi non tarif dengan menganggap bahwa perlakuan free flow juga diterapkan pada barang kena cukai (BKC).

Secara umum, pajak tidak langsung dalam bentuk cukai diterapkan di semua negara ASEAN, meskipun secara harfiah nama yang digunakan dapat berbeda-beda.

Barang yang dikenakan cukai juga berbeda-beda, demikian juga basis pengenaan cukainya juga berbeda; meskipun terdapat juga persamaan-persamaan dalam kebijakan dan administrasi cukai.

Misalnya, ditinjau dari segi produk (BKC), terdapat lima produk yang dikenakan cukai (atau nama lain yang bertujuan sama) di semua negara ASEAN, yaitu bir, wine, spiritus, rokok, cerutu, dan kendaraan penumpang.

Terdapat pula beberapa BKC yang dikenakan cukai di mayoritas negara ASEAN (misalnya BBM, truk, bus, sepeda motor, dan tempat hiburan malam), serta terdapat pula BKC hanya di satu negara ASEAN, misalnya cukai kretek di Indonesia (APTF, 2013).

Dari segi sistem cukainya, terdapat negara ASEAN yang menganut tarif ad valorem, tarif spesifik (termasuk Indonesia), atau tarif campuran. Perbedaan yang paling nyata adalah besaran tarif cukai yang berbeda-beda di antara negara ASEAN.

Ditinjau dari kerangka perwujudan arus bebas barang dan jasa, perbedaan sistem administrasi, jenis BKC, dan tarif yang berbeda-beda di negara ASEAN dapat menghambat aliran barang dan jasa.

Misalnya untuk produk tembakau, negara ASEAN dengan tarif cukai rendah dapat menjadi target basis produksi, sedangkan negara ASEAN dengan harga jual eceran tinggi dapat menjadi target ekspor (Budilaksono dan Rustiningsih, 2013).

Selain dapat menghambat aliran barang dan jasa, meningkatkan perdagangan lintas batas atau penyelundupan, perbedaan-perbedaan tersebut juga dapat mendorong persaingan dalam kebijakan perpajakan diantara negara-negara ASEAN, suatu hal yang tidak diinginkan dalam pasar tunggal ASEAN.

Sebagaimana terjadi di Eropa, pelaksanaan pasar tunggal pada awalnya mengakibatkan persaingan cukai (excise tax competition) dan perubahan interaksi strategis diantara negara anggota Uni Eropa, khususnya pada produk minuman mengandung alkohol (Lockwood dan Migali, 2009).

Untuk menghindari persaingan tersebut, terdapat dua forum yang dapat digunakan untuk membicarakan tentang perpajakan di ASEAN, yaitu Asia-Pacific Tax Forum (APTF) dan ASEAN Forum on Taxation (AFT).

APTF merupakan produk dari suatu lembaga riset dan pendidikan nirlaba yang independen bernama International Tax and Investment Center (ITIC) yang bekerjasama dengan kementerian dan/atau instansi yang mempunyai otoritas di bidang keuangan, perpajakan, dan kepabeanan di negara-negara Asia dan Pasifik.

Salah satu hasil yang penting dari APTF terkait dengan cukai adalah kajian yang memetakan best practices di ASEAN dalam hal kebijakan dan administrasi terkait dengan BKC. Di lain pihak, AFT merupakan forum yang lebih baru.

Dalam pertemuan AFT terakhir yang dilaksanakan di Jakarta pada bulan Maret 2016, diperkuat sub-forum dalam AFT yang khusus menangani cukai, yang disebut dengan Excise Tax Sub-Forum (ETS) yang menginduk pada AFT. 

Meskipun hanya merupakan suatu sub-forum, pembentukan ETS merupakan langkah maju dalam kerjasama cukai di level regional.

Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah yang dapat dikerjasamakan dalam bidang cukai di level ASEAN? Sebagaimana disinggung di muka, harmonisasi dan standarisasi BKC serta tarif cukai dipercaya akan meningkatkan perdagangan dan investasi atas BKC di kawasan ASEAN.

Meskipun demikian, karena perpajakan pada intinya adalah urusan dalam negeri atau kedaulatan suatu negara, harmonisasi dan standarisasi kebijakan dan/atau administrasi cukai di ASEAN masih akan memerlukan waktu yang cukup lama sampai dengan dapat dilaksanakan dengan baik.

Hal tersebut agak berbeda dengan kerjasama di bidang kepabeanan yang sejak awal merupakan topik yang dibahas sejak awal dalam liberalisasi perdagangan ASEAN.

Berkaca dari pengalaman Uni Eropa, negara anggota dapat menyepakati BKC terbatas pada beberapa produk, yang dalam kasus Uni Eropa meliputi produk energi, listrik, minuman mengandung alkohol, dan produk turunan tembakau.

Meskipun demikian, setiap negara anggota tetap diberikan keleluasaan untuk mempertahankan atau mengenakan bea (duty) untuk produk-produk lain (Schröer-Schallenberg, 2012).

Selain itu, sistem pengenaan cukai perlu diubah menjadi basis negara tujuan (destination-based) dimana cukai terutang di negara di mana BKC dikonsumsi, dengan tidak mempedulikan di mana BKC diproduksi atau diimpor.

Sistem ini lebih rumit daripada sistem yang selama ini berlaku karena cukai terutang di tempat konsumsi, padahal bisa jadi produksi atau tempat impor pertama kali ke kawasan ASEAN bukan di negara tempat konsumsi tersebut. 

Dengan demikian sistem tersebut memerlukan prasayarat berupa penyesuaian atau administrasi pajak yang lebih baik dalam mencatat pergerakan BKC dari negara tempat impor ke negara tempat konsumsi.

Sistem tersebut yang berlaku di negara-negara anggota Uni Eropa dengan membedakan secara jelas BKC yang dalam penangguhan cukai (duty suspension) dan BKC yang dibebaskan untuk konsumsi (Bongartz, 2012).

Penangguhan cukai diberikan pada BKC yang sedang dalam proses perpindahan dari negara produsen ke negara tujuan konsumsi. Pergerakan BKC perlu dimonitor karena BKC masih ditangguhkan cukainya. Ketika BKC dikeluarkan dari tempat penyimpanan untuk dikonsumsi, barulah cukai menjadi terutang.

Harmonisasi untuk pasar tunggal ASEAN masih memerlukan waktu untuk dapat menyamai sistem yang berlaku di Uni Eropa. 

Sebagai tahap awal dalam kerjasama cukai ASEAN, ETS merencanakan antara lain untuk membuat database BKC di ASEAN, melakukan kajian mengenai sistem administrasi cukai di negara-negara ASEAN, serta tukar-menukar informasi tentang praktik terbaik (best practices) dalam kebijakan dan/atau administrasi cukai.

Bagi Indonesia, perkembangan tersebut patut disambut gembira dalam rangka mencari ide-ide segar untuk menggulirkan inovasi dalam administrasi atau dalam hal kebijakan untuk ekstensifikasi dan intensifikasi cukai.
Recent Search