Dana Ketahanan Energi untuk Efisiensi

Publik tiba-tiba dikejutkan ketika pemerintah mewacanakan adanya pungutan Dana Ketahanan Energi. Meskipun masih sebatas wacana dan sedang dikaji secara mendalam, ide tersebut sontak mamancing berbagai tanggapan dan analisis berbagai pihak.

Pemerintah sendiri berargumen bahwa mekanisme tersebut didasarkan pada pertimbangan penghematan cadangan energi nasional seiring menipisnya produksi migas serta meningkatnya konsumsi BBM akibat pertumbuhan ekonomi dan ledakan penduduk.

Kebijakan tersebut kabarnya juga sudah diseleraskan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mengamanatkan adanya reformasi dalam pengelolaan energi masa depan secara berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan guna terciptanya tujuan utama Kemandirian Energi dan Ketahanan Energi Nasional.

Kemandirian Energi sendiri didefinisikan sebagai terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.

Sedangkan Ketahanan Energi Nasional dimaknai sebagai suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Kedua tujuan utama tersebut dapat dicapai melalui kebijakan diantaranya Sumber Daya Energi (SDE) tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi sebagai modal pembangunan nasional, kemandirian pengelolaan energi, ketersediaan energi dan terpenuhinya sumber energi dalam negeri, pengelolaan SDE secara optimal, terpadu dan berkelanjutan sekaligus pemanfaatan energi secara efisien di semua sektor.

Beberapa pihak yang tidak setuju lebih banyak mengingatkan bahwa berdasarkan PP Nomor 79 Tahun 2014, premi pengurasan energi fosil dikenakan kepada sektor hulu atau kontraktor migas, bukan dilekatkan kepada konsumen via harga jual BBM di masing-masing SPBU. Jadi Dana Ketahanan Energi selayaknya dipungut dari para kontraktor yang mengeksplorasi migas Indonesia, bukan di level konsumen.

Mereka juga menambahkan bahwa BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat selama ini, tidak seluruhnya hasil pengurasan energi fosil dalam negeri karena komponen impornya cukup mendominasi. Keberatan lainnya juga didasarkan pada permasalahan tata kelola dangood governancedana tersebut nantinya.

Efisiensi energi

Terlepas dari benar dan salahnya, pro dan kontra terkait Dana Ketahanan Energi sebaiknya segera disudahi. Penulis justru tertarik dengan pernyataan bahwa salah satu bentuk pemanfaatan Dana Ketahanan Energi adalah pengembangan energi baru danterbarukan (EBT).

Menurut ketentuan umum di dalam PP Nomor 79 Tahun 2014, yang dimaksud Energi Baru (EB) adalah energi yang dihasilkan dari teknologi baru baik yang berasal dari Sumber Energi Terbarukan maupun Tak Terbarukan misalnya nuklir, hidrogen, gas metana batubara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal) serta batu bara tergaskan (gasified coal).

Sementara Energi Terbarukan (ET) adalah sumber energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Untuk kasus ET ini, Indonesia sudah dikenal sejak lama memiliki potensi yang luar biasa.

Namun demikian, kendala pendanaan dan gesekan dengan isu konservasi hutan serta beberapa persoalan tata kelola di daerah yang selalu bermasalah menjadikan potensi panas bumi ini masih jauh dari yang diharapkan. Begitupula dengan bentuk-bentuk ET lainnya yang hingga kini belum dapat beroperasi secara maksimal.

Mengingat beratnya pengembangan EB/ET tersebut, penulis justru merasa bahwa pemerintah sebaiknya dapat melihat potensi penciptaan kemandirian dan ketahanan energi dari sisi Konservasi Energi (KE) khususnya Efisiensi Energi (EE).

Di dalam PP Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konservasi Energi sendiri, yang dimaksud KE adalah upaya sistematis, terencana dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya.

Sedangkan EE adalah gerakan penghematan energi baik dari sisi penggunaan teknologi yang hemat energi ataupun perbaikan dari sisi efisiensi konsumsi.

Pemerintah kemudian berkewajiban memberikan insentif kepada pihak yang mendukungkebijakan tersebut melalui fasilitas perpajakan untuk peralatan hemat energi, pengurangan/keringanan/pembebasan pajak daerah untuk peralatan hemat energi, fasilitas bea masuk untuk peralatan hemat energi, dana suku bunga rendah untuk investasi KE sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dan/atau audit energi dalam pola kemitraan yang dibiayai oleh pemerintah.

Untuk pihak yang melanggar ketentuan tersebut, pemerintah dapat mengenakan pungutan dis-insentif. Amanat tersebut juga selaras dengan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional pasal 22 ayat 3 yang menyebutkan bahwa pemerintah memberikan insentif kepada produsen dan konsumen energiyang melaksanakan kewajiban KE dan efisiensi energi sekaligus memberikan dis-insentif kepada pihak yang tidak melaksanakan kewajiban KE-EE tersebut.

Sebagai penutup, ide pungutan Dana Ketahanan Energi sekiranya perlu didukung dengan melengkapi berbagai infrastruktur yang memang dibutuhkan seperti dasar hukum, kelembagaan serta mekanismebeneficiary sharingdan aspek pengawasannya.

Namun demikian, mempertimbangkan kesulitan dari sisi pengembangan EBT, pemerintah sekiranya perlu melihat opsi lain untuk memanfaatkan Dana Ketahanan Energi dalam mendukung gerakan KE-EE.
Recent Search